Kamis, 01 Januari 2009

Silent Talk - Last Talk



Mata mereka berdua beradu. Yuki tidak begitu menyukai itu. Ia memang tidak mempermasalahkan bagaimana Azmaria akan menganggapnya atau memperlakukannya. Biarlah apa yang akan gadis itu pikirkan. Tangannya terus memegang-megang bekas lukanya. Yuki juga tidak benci pada Azmaria karena masalah luka tersebut. Tapi nampaknya gadis yang memiliki warna mata beda itu tidak bisa mengerti dirinya. Dan, huh, memang Azmaria pernah mengerti? Never. Azmaria sama sekali tidak pernah bisa mengerti Yuki. Yuki hanya memalingkan wajahnya dari Azmaria, tidak begitu perduli apa yang akan gadis dari asrama ular hijau akan katakan.

Yuki tidak pernah menyukainya.

Tapi ia selalu salah paham.

Apakah Yuki salah sebagai seorang laki-laki melindungi seorang anak perempuan? Apakah Yuki salah sebagai laki-laki tidak bisa tegas? Oke, yang kedua itu memang bermasalah, tapi begitulah adanya Yuki. Ia masih belum bisa tegas karena kurang percaya diri. Terserah mau bilang Yuki itu kuper atau apa. Yuki terima dengan senang hati semua masukan itu. Kan dia orang baik, ramah, rajin menabung, dan segala blah-blah-blah. Tapi itu kenyataan. Yuki sudah nyaris beranjak pergi dari menara, ia sama sekali tidak memiliki pikiran untuk berlama-lama bersama Azmaria di tempat sesepi ini. Bisa-bisa terjadi hal yang tidak diinginkan. Bukan yang macam-macam. Hanya saja hal yang tidak diinginkan itu seperti: Menara menjadi tempat kejadian perkara pembunuhan tragis. No way. Yuki tidak mau merelakan nyawanya begitu saja disini. Sifat Azmaria yang cukup tempramental—didukung dengan latar belakang keluarganya yakni mafia Sicilia yang terkenal kejam dan sadis, Yuki tidak mau ikut campur tangan. Sama saja cari mati.

"Aku tahu kok!"

Ia berseru. Yuki kembali memusatkan pandangannya pada Azmaria. Padahal tadinya sudah mau pergi. Ia bahkan sudah turun dari pinggir jendela. Miss, what did you know? You never know about me. Tapi sifat sopan santun memaksanya untuk tetap tinggal di samping jendela itu, mendengarkan apa yang akan Azmaria katakan sampai habis.

"Aku tidak mengijinkanmu memanggil namaku. Kau membenciku bukan? Karena kejadian malam itu! Ya, memang aku yang membuat luka itu! Tapi kau sendiri kan tahu—"

Ia berhenti di tengah-tengah kata-katanya. Tapi Yuki tahu apa maksud gadis itu. Ia tersenyum manis, melayangkan senyum tulus yang mungkin akan terakhir kali diberikan pada gadis angkuh itu. Angkuh tapi manis dan lucu. Aneh. Tapi begitulah dirinya. "Azmaria, mungkin kau tidak mengerti. Aku tidak pernah menyalahkanmu soal kejadian malam itu," Yuki melirik pada bekas lukanya, kemudian menarik tangan kanan Azmaria, menggenggamnya seperti adik yang memegang tangan kakaknya."Aku justru bersyukur akan segala hal kok. Hanya, kau tidak mengerti satu hal," lanjut Yuki, memandang mata Azmaria dalam-dalam, berharap gadis itu kali ini mengerti perasaan sesungguhnya. "Aku tidak pernah menyukaimu. Aku hanya menganggapmu sebagai kakak," akhirnya Yuki berhasil menegaskannya. Butuh usaha ekstra keras untuk mengutarakan kata-kata yang satu ini. Sebenarnya ia sudah nyaris pingsan berdiri seperti itu. Yuki kemudian berlutut, dan mencium tangan kanan Azmaria, seperti seorang kesatria yang bersumpah setia kepada sang putri—hanya saja adegan ini cuma disadur dari opera sabun yang sering Yuki tonton di televisi bersama tetangganya ketika sore datang.

"Sampai jumpa, Miss Moldova~" ujar Yuki kemudian berdiri dan pergi meninggalkan Azmaria yang mungkin akan terpatung dengan manis mendengar semua kata-kata Yuki yangs sok puitis padahal ia hanya menghapalkan naskah skenario dari drama yang sering ditontonnya. Adegan seperti ini juga ada banyak di serial Kamen Rider. Laki-laki tukang gombal? Mungkin itu ada benarnya. Karena sekarang Yuki merasakannya. Ia berjalan menuruni tangga. Berharap, gadis itu mau mengerti, dan meninggalkan semua masa lalu mereka. Ia agak goyah. Nyaris terpeleset di tangga tapi berhasil menyeimbangkan dirinya. Kemudian turun ke asramanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar