Yuki sedang asyik meringkuk di sudut kompartemen, ketika semua teman-teman sekompatemennya yang lain entah sedang apa. Berusaha untuk memejamkan matanya namun tidak bisa menjauhkan pandangannya dari kaca jendela. Matahari senja mulai memerah dengan gemilau. Langit begitu merah, bagaikan darah yang menitik. Cerah. Tanpa awan setitikpun. Namun indah tanpa cela, memikat, membuatnya tak bisa teralih dengan apapun. Sepanjang perjalanan, Yuki merenungkan banyak hal. Tentang dunia sihir yang sama sekali tidak diketahuinya. Ia bagaikan anak ayam yang sengaja masuk ke dalam sarang ular berbisa. Merantau tanpa arah dan tujuan. Tapi dari dulu ia memang selalu mengikuti arus. Apapun yang terjadi, itulah yang harus terjadi. Semuanya bukan rencananya. Itu bagaikan destiny-nya. Bahkan dirinya tidak mampu menolak permintaan semua orang yang meminta bantuan. Hatinya tak tega. Terlalu baik? Maybe. Koran-koran sihir itu, sibuk bergerak-gerak, sementara tetap diam di atas bangku. Mengerikan sekaligus ajaib. Yuki benar-benar tidak bisa habis pikir dengan yang satu itu. Banyak hal mengejutkan di dunia sihir. Bahkan salah satu seniornya tadi berkata kalau lukisanpun bergerak-gerak! Ah, masa? Ia harus memastikan itu dengan mata kepalanya sendiri nanti. Ya, hanya beberapa saat lagi. Dan ia akan mulai menginjak sekolah sihir itu. Perjalanan yang jauh itu, benar-benar terasa melelahkan. Namun dirinya sama sekali tidak mengeluh. Inilah, jalan yang dipilihnya.
Kereta berhenti. Yuki bisa mendengar suara pintu kompartemen yang digeser dengan paksa. Antusiasme berlebihan yang dapat dianggap wajah dan masuk akal. Sama seperti dirinya saat ini. Sedang sibuk meloncat-loncat untuk mendapati kopernya yang besar dan berat di atas rak. Koper tersebut berhasil jatuh, tanpa menimpa atau melukai Yuki barang serambutpun. Nice. Semoga hal ini menjadi pertanda baik. Mungkin di Hogwarts ini, ia akan bertambah tinggi atau apapun itu yang lainnya. Ia sudah mengenakan seragam Hogwarts, lengkap dengan jubahnya--yang hitam lusuh.
Tapi kemudian Yuki menaruh kembali kopernya.
Kemudian, rombongan dialihkan kepada seorang wanita tua yang cukup misterius. Berkacamata dan anggun. Terdapat aura-aura yang tak bisa di tolak dari wanita itu. Ia mengaku bernama Profesor McGonagall, selaku wakil kepala sekolah Hogwarts. Tak ada diskriminasi gender? Bagus sekali. Yuki tidak berharap hal-hal yang ada di sinetron bakal hadir secara nyata di sekolah sihir ini. Karena terkadang, wanita bisa menjadi mengerikan. Yuki harus berhati-hati. Suatu saat, profesor ini mungkin akan menghukumnya. Yup. Was-was terhadap wanita, salah satu sikap seorang gentleman yang baik. Setidaknya itu pikiran pertama Yuki. Wanita itu menuntun rombongan hingga ke sebuah pintu yang besar dan megah. Yuki terbengong-bengong, melihat betapa besarnya isi kastil itu. Ketika tangan profesor McGonagall itu terangkat, pintu terbuka, diiringi suara dirigen berupa decitan yang sangat keras. Berkas-berkas cahaya perlahan-lahan keluar. Dan Yuki bagai masuk ke dalam dimensi lain. Langit senja yang indah, seperti yang dilihatnya diluar, terlukis dengan nyata di langit-langit aula tersebut. Empat meja panjang dijejer, dan di atasnya terdapat panji-panji berlainan warna dan lambang. Lilin-lilin bertaburan di udara, menunjukkan cahaya yang remang-remang.
Saking kagetnya, Yuki sampai berhenti berjalan. Temannya di belakang menabraknya dan ia baru jalan kembali. Terlihat antusiasme dari senior-senior lain yang berteriak-teriak riuh, menyambut kedatangan rombongan anak kelas satu. Ia masih bengong dan ketika anak di depannya berhenti, ia terus berjalan dan akhirnya menabraknya. "Maaf," bisik Yuki kecil, merasa bodoh dan sangat bersalah. Ia merapihkan pakaiannya yang berantakan, kemudian berdiri sesuai barisannya, tidak acak-acakan. Seakan menyadari kesalahan yang baru saja ia lakukan. Di depan, ada sebuah bangku dan di atasnya ada topi. Sedikit lusuh tapi tidak selusuh kemeja kotak-kotak yang selalu dikenakan Yuki. Apa yang akan dilakukannya dengan topi itu, err?
Dan mendadak topi itu berbicara--tepatnya bernyanyi.
Mata Yuki tak bisa jauh dari topi itu. Ia mencermati setiap kata-kata si topi itu dengan jelas.
Gryffindor--berani. Entahlah. Apakah Yuki memiliki sifat itu? Hufflepuff--apapun yang terjadi, terjadilah. Well, itu seperti dirinya selama ini. Ravenclaw--pintar dan buku? Tidak ah. Yuki tak suka jadi kutu buku. Slytherin--licik dan ambisius. Apakah itu juga ada pada dirinya? Mungkin. Tapi tak pasti. Yuki hanya bisa memikirkan itu semua di dalam hatinya.
"Conrad, Yukisa!"
Suara wanita itu memanggilnya. Yuki langsung terjaga dari lamunannya. Dan berjalan cepat-cepat ke depan hingga akhirnya nyaris jatuh karena tersandung. Ia merasa malu. Kemudian menundukkan kepalanya, menutupi rona merah yang mulai menutupi wajahnya. Ia duduk di atas kursi tersebut. Dan ketika topi itu diletakkan di atas kepalanya, ia bisa mencium bau debu yang sangat pekat, persis dengan bau kamar Yuki di Gereja. Menimbulkan rasa nostalgia. Topi seleksi, andaikan engkau tahu. Aku tak perduli dimanapun--karena aku tidak mengerti--Namun aku hanya berharap, asrama manapun, itulah yang terbaik untukku, dan juga untuk orang lain. Sebuah doa kecil, di dalam hati, tanpa diungkapkan. Ia mengedarkan matanya sekeliling. Malu. Di depan banyak orang. Tapi ia tak bisa mundur. Dan kemudian suara topi itu kembali membahana...
Rabu, 31 Desember 2008
Seleksi Asrama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar